Penantian Bagi "Pangeran Borneo"
Matahari sudah mulai bergeser ke barat ketika saya akan bersiap memasuki hutan mangrove di Desa Sungai Rengas, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Di kejauhan tampak para nelayan tradisional sedang memasang pukat di sepanjang anak sungai Kapuas dengan mengunakan Robin (Sampan bermesin).
Habitat Bekantan yang masih tersisa di Sungai Rengas |
Saya segera menyiapkan segala kebutuhan di lapangan. Sedangkan Joe Mamen, seorang rekan yang siap menemani dan memandu saya menerobos hutan mangrove sibuk memilih dan menyiapkan sampan dan semua perlengkapanya. Tujuan saya adalah akan memotret Sang Pangeran Borneo (Bekantan / Nasalis larvatus) yang berada di alam liar. Sabtu (21/2/2015) jam 15.10 wib kami berdua segera mendayung sampan meninggalkan ujung desa menuju ke arah tepian sungai Kapuas. Jarak tempuh menuju hutan mangrove relatif dekat. Hanya butuh waktu perjalanan selama 40 menit dengan santai sambil mendayung sampan.
Di sore itu, ujung Desa Sungai Rengas telah menawarkan sebuah lanskap yang khas. Desa perpenduduk sekitar 110 kk bagai surga yang mempertemukan dua aliran anak sungai dan induknya yaitu sungai Kapuas. Sepanjang aliran cabang anak sungai di penuhi rerimbunan pohon kelapa dan nipah. Sesekali terlihat jermal kecil milik nelayan setempat, cukup melengkapi panorama alam di ujung anak sungai.
Tidak memakan waktu lama, kami berdua sampai di tempat favorit peristirahatan Sang Pangeran. Sepertinya kami sampai lebih awal dari perkiraan, dimana belum saatnya mereka keluar. Sambil manambatkan sampan di tepian pohon Nipah, saya mulai menyiapkan kamera, agar siap membidik sewaktu sang Pangeran muncul. Mata saya seperti tidak berkedip memandang ke atas pepohonan.
Menunggu Sang Pangeran Borneo sambil foto-foto |
Setelah satu jam menunggu, belum ada tanda tanda kemunculan Sang Pangeran, akhirnya kami putuskan untuk berpindah lokasi. Beberapa kali kami hilir mudik dengan kamera siap membidik. Begitu pula dengan Joe Mamen, pelan namun pasti mendayung sampan dengan mata memandang ke kiri dan ke kanan. Semua kami lakukan dengan tenang dan hening. Tidak menunggu waktu lama, dahan di atas saya mulai bergoyang bersamaan dengan suara nyaring seperti anjing sedang menyalak. Tetapi bukan Sang Pangeran yang muncul. Dalam jarak yang relatif dekat, seekor pejantan besar Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) sempat beberpa detik bertatap mata dengan saya, yang membuat saya terkesima, dan KLIK, shutter kamera pun saya tekan berkali-kali, tapi membuat mereka berhamburan menghilang di rimbunya dedauanan. Setelah saya cek kamera, ternyata hanya gambar pepohonan yang saya dapatkan. Hilang sudah moment berharga.
Joe Mamen, memantau Sang Pangeran Borneo |
Kemudian kami berdua sepakat berpindah lokasi. Segalanya kami seting dari awal. Tidak sampai sepuluh menit kami mendengar suara daun saling bergesekan. "Lihat di sebelah kanan, ada Lutung Hitam tiga ekok" bisik Joe Mamen dengan perlahan. Dengan konsentrasi dan fokus saya bidikan kamera ke sebelah kanan berkali kali. Tetapi sekali lagi kamera saya tidak menangkap subyek yang saya cari. Walau tidak mendapat gambar seperti yang di harap, namun saya sedikit lega karena dapat menikmati momentum langka yang di pertontonkan secara kasat mata di alam liar. Mengingat waktu tidak memungkinkan untuk sekali lagi menunggu, akhirnya kami berdua sepakat untuk meninggalkan lokasi.
Perjalanan pulang di tarik Robin oleh nelayan setempat |
Setelah segala peralatan dan perlengkapan di kemas, kami berdua mulai mendayung sampan pulang. Dalam perjalanan pulang, kami bertemu dengan Buljani dan Ali, nelayan yang telah selesai memasang pukat ikan. Karena mereka menggunakan Robin (sampan mesin), mereka menawarkan jasa untuk menarik sampan kami. Akhirnya kami sampai lebih cepat di dermaga sampan tanpa harus mendayung.
Sesampai di dermaga, saya dan Joe Mamen sempat berbincang denga Buljani dan Ali. Menurut dua pria paruh baya ini warga tidak pernah lagi berburu Bentangan/ Bekantan karena satwa ini di lindungi Undang-Undang.
"Saye tak maok nembak Bentangan, karena binatang ini sudah di lindung. Paling saye nembak Tupai hanye untok makan". begitu ungkap Buljani dengan dialek Melayu Sambas yang sangat kental.
Bersama Pak Buljani (kiri) dan Pak Ali (kanan) |
Pengakuan singkat Buljani dan Ali ini adalah kabar gembira untuk kita semua. Sebenarnya masyarakat dapat di jadikan partner dalam dunia konservasi, asalkam mereka di bekali dengan edukasi dan pemahaman tentang satwa-satwa yang di lindungi dan larangan untuk memburu dan membunuh. Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan dan mengkambing hitamkan masyarakat pedalaman dan rakyat kecil yang tidak tahu menahu tentang hukum dan pemahamanya.
Itulah pengalaman saya menanti Sang Pangeran Borneo di Sungai Rengas. Sangat menyenangkan.
AC.WNGWT
Bagi anda semua yang sering mengikuti perkembangan Bekantan, ternyata masih ada habitat tersisa di Sungai Rengas
BalasHapus