Selasa, 01 Desember 2015

Pangeran Borneo

Nasib Sang Pangeran 
"Endemik" Borneo

Borneo atau Kalimantan adalah pulau besar ke tiga di dunia yang kaya akan aneka ragam flora dan segala jenis satwa. Salah satu satwa cantik asal Borneo adalah Bekantan. Bekantan atau Kera Belanda adalah seekor primata Endemik Borneo. Primata yang mempunyai nama Nasalis larvatus ini dalam dunia pariwisata modern popularitasnya dapat mengimbangi Orangutan yang sudah lebih dulu populer sebagai "selebritis" di 

Minggu, 22 Februari 2015

Jam Makan Sang Pangeran

Penantian Bagi "Pangeran Borneo"


Matahari sudah mulai bergeser ke barat ketika saya akan bersiap memasuki hutan mangrove di Desa Sungai Rengas, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Di kejauhan tampak para nelayan tradisional sedang memasang pukat di sepanjang anak sungai Kapuas dengan mengunakan Robin (Sampan bermesin).

Habitat Bekantan yang masih tersisa di Sungai Rengas
Saya segera menyiapkan segala kebutuhan di lapangan. Sedangkan Joe Mamen, seorang rekan yang siap menemani dan memandu saya menerobos hutan mangrove sibuk memilih dan menyiapkan sampan dan semua perlengkapanya. Tujuan saya adalah akan memotret Sang Pangeran Borneo (Bekantan / Nasalis larvatus) yang berada di alam liar. Sabtu (21/2/2015) jam 15.10 wib kami berdua segera mendayung sampan meninggalkan ujung desa menuju ke arah tepian sungai Kapuas. Jarak tempuh menuju hutan mangrove relatif dekat. Hanya butuh waktu perjalanan selama 40 menit dengan santai sambil mendayung sampan.


Di sore itu, ujung Desa Sungai Rengas telah menawarkan sebuah lanskap yang khas. Desa perpenduduk sekitar 110 kk bagai surga yang mempertemukan dua aliran anak sungai dan induknya yaitu sungai Kapuas. Sepanjang aliran cabang anak sungai di penuhi rerimbunan pohon kelapa dan nipah. Sesekali terlihat jermal kecil milik nelayan setempat, cukup melengkapi panorama alam di ujung anak sungai.

Tidak memakan waktu lama, kami berdua sampai di tempat favorit peristirahatan Sang Pangeran. Sepertinya kami sampai lebih awal dari perkiraan, dimana belum saatnya mereka keluar. Sambil manambatkan sampan di tepian pohon Nipah, saya mulai menyiapkan kamera, agar siap membidik sewaktu sang Pangeran muncul. Mata saya seperti tidak berkedip memandang ke atas pepohonan.

Menunggu Sang Pangeran Borneo sambil foto-foto
Setelah satu jam menunggu, belum ada tanda tanda kemunculan Sang Pangeran, akhirnya kami putuskan untuk berpindah lokasi. Beberapa kali kami hilir mudik dengan kamera siap membidik. Begitu pula dengan Joe Mamen, pelan namun pasti mendayung sampan dengan mata memandang ke kiri dan ke kanan. Semua kami lakukan dengan tenang dan hening. Tidak menunggu waktu lama, dahan di atas saya mulai bergoyang bersamaan dengan suara nyaring seperti anjing sedang menyalak. Tetapi bukan Sang Pangeran yang muncul. Dalam jarak yang relatif dekat, seekor pejantan besar Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) sempat beberpa detik bertatap mata dengan saya, yang membuat saya terkesima, dan KLIK, shutter kamera pun saya tekan berkali-kali, tapi membuat mereka berhamburan menghilang di rimbunya dedauanan. Setelah saya cek kamera, ternyata hanya gambar pepohonan yang saya dapatkan. Hilang sudah moment berharga.

Joe Mamen, memantau Sang Pangeran Borneo
Kemudian kami berdua sepakat berpindah lokasi. Segalanya kami seting dari awal. Tidak sampai sepuluh menit kami mendengar suara daun saling bergesekan. "Lihat di sebelah kanan, ada Lutung Hitam tiga ekok" bisik Joe Mamen dengan perlahan. Dengan konsentrasi dan fokus saya bidikan kamera ke sebelah kanan berkali kali. Tetapi sekali lagi kamera saya tidak menangkap subyek yang saya cari. Walau tidak mendapat gambar seperti yang di harap, namun saya sedikit lega karena dapat menikmati momentum langka yang di pertontonkan secara kasat mata di alam liar. Mengingat waktu tidak memungkinkan untuk sekali lagi menunggu, akhirnya kami berdua sepakat untuk meninggalkan lokasi.

Perjalanan pulang di tarik Robin oleh nelayan setempat
Setelah segala peralatan dan perlengkapan di kemas, kami berdua mulai mendayung sampan pulang. Dalam perjalanan pulang, kami bertemu dengan Buljani dan Ali, nelayan yang telah selesai memasang pukat ikan. Karena mereka menggunakan Robin (sampan mesin), mereka menawarkan jasa untuk menarik sampan kami. Akhirnya kami sampai lebih cepat di dermaga sampan tanpa harus mendayung.

Sesampai di dermaga, saya dan Joe Mamen sempat berbincang denga Buljani dan Ali. Menurut dua pria paruh baya ini warga tidak pernah lagi berburu Bentangan/ Bekantan karena satwa ini di lindungi Undang-Undang.

"Saye tak maok nembak Bentangan, karena binatang ini sudah di lindung. Paling saye nembak Tupai hanye untok makan". begitu ungkap Buljani dengan dialek Melayu Sambas yang sangat kental.

Bersama Pak Buljani (kiri) dan Pak Ali (kanan)
Pengakuan singkat Buljani dan Ali ini adalah kabar gembira untuk kita semua. Sebenarnya masyarakat dapat di jadikan partner dalam dunia konservasi, asalkam mereka di bekali dengan edukasi dan pemahaman tentang satwa-satwa yang di lindungi dan larangan untuk memburu dan membunuh. Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan dan mengkambing hitamkan masyarakat pedalaman dan rakyat kecil yang tidak tahu menahu tentang hukum dan pemahamanya.

Itulah pengalaman saya menanti Sang Pangeran Borneo di Sungai Rengas. Sangat menyenangkan.

AC.WNGWT

Minggu, 30 November 2014

Ingkar Janji Petugas BKSDA Seksi Konservasi Wilayah II Sintang

Perdagangan Satwa Liar Di Lindungi Masih Marak Di Kalbar 



Foto By AC.WNGWT
Ketika berpergian ke daerah hulu Kalimantan Barat, saya sangat kaget dan heran. Serasa tidak percaya dengan apa yang saya temukan dan saksikan dengan mata kepala sendiri, ternyata masih banyak aneka jenis satwa langka yang di lindungi Undang-Undang terdapat di perumahan warga dan pasar tradisional guna di jadikan hewan peliharaan, atau di perdagangkan secara ilegal.


Foto By AC.WNGWT
Di desa Tamang, kecamatam Balai Batang Tarang, kabupaten Sanggau Kapuas, tepat di samping Gereja, banyak tergantung beraneka ragam burung berkicau. Ketika bertanya pada ibu warung di sebelahnya, dia mengatakan bahwa semua burung-burung itu dijual, tetapi pemiliknya sedang tidak ada di rumah. Saya putuskan untuk melihat lihat semua koleksi burung dan semua satwa yang berada di rumahnya. Ketika mulai masuk ke dalam, ternyata bukan hanya jenis burung saja, tetapi ada juga Tupai Tanah, Ayam Hutan, beberapa ekor Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis), dua ekor musang, dan lima ekor Malu-Malu / Kukang Kalimantan (Nycticebus managensis) yang terdapat dalam dua kandang terpisah. Menurut informasi, pemiliknya bernama Korentius, seorang Kepala Sekolah Dasar di desa Tamang, yang sekaligus penampung satwa liar untuk di perdagangkan.


Foto By AC.WNGWT
Setelah merasa informasi cukup, saya berangkat untuk melanjutkan perjalanan. Keesokan harinya saya mulai masuk di daerah Sepauk, kabupaten Sintang. Temuan di sini tidak kalah menariknya dengan di desa Tamang. Tepat di depan toko Mandiri, terdapat kandang kawat berukuran sekitar 80 x 120 x 80 berisi tiga ekor Burung Rangkong jenis Kangkareng Hitam, yang di perdagangkan dengan harga Rp 3 juta / ekor. Lokasi tepatnya di Rt 01, dusun Sungai Arak, desa Tanjung Hulu, kecamatan Sepauk, kabupaten Sintang. Semua temuan ini kemudian saya informasikan kepada bapak Susetyo Iryono selaku Kepala BKSDA Kalimantan Barat dan bapak Hadiatul, selaku Kepala BKSDA Seksi Konservasi Wilayah II Sintang, sebelum saya kembali ke Pontianak.

Foto By AC.WNGWT
Setelah sepuluh hari berlalu, saya kembali lagi ke Sepauk. Betapa terkejutnya ketika melihat burung Kangkareng Hitam yang saya laporkan pada petugas BKSDA tempo hari masih ada di sana, alias belum di evakuasi seperti janjinya. Agar tidak mengundang kecurigaan, saya terus berjalan jauh ke dalam pasar. Sampai di pasar saya sempatkan waktu melihat lihar pasar hewan, dan terdapat seekor anakan burung Rangkong Badak yang juga di perdagangkan secara ilegal dengan harga Rp 2,5 juta. Sudah menjadi kebiasaan, burung ini kemudian saya foto sambil mengobrol kepada penjualnya. Begitu informasi jelas dan lengkap, kemudian saya cepat meninggalkan lokasi.

Foto By AC.WNGWT
Dalam perjalanan pulang ke Pontianak, kami melihat sebuah kandang seekor Beruk (Macaca nemestrina) yang terbuat dari besi berukuran sekitar 2x2m tepat di tepi jalan raya, di pekarangan rumah warga di daerah Parindu, kabupaten Sanggau Kapuas. Untuk membuang rasa penasaran itu, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti tepat di sebelah kandang tersebut. Akhirnya saya turun dan melihat lihat. Ternyata aneka satwa penghuninya bukan hanya seekor beruk. Tetapi juga beberapa Monyet Ekor Panjang, beberapa Ayam Hutan dan Burung Elang, Landak, Tupai dan Merpati. Yang paling dasyat ternyata  ada juga seekor Kucing Congkok (Prionailurus bengalensis) dan anakan Beruang Madu (Helarctos malayanus).

Foto By AC.WNGWT
Atas temuan semua ini, kemudian saya kontak seorang teman di Pontianak untuk minta pendapat. Atas pendapatnya, dia menyarankan untuk melaporkan semua temuan ini pada pihak BKSDA. Tetapi saya katakan bahwa laporan saya minggu lalu juga belum di tanggapi. Tetapi jika laporan dari semua masyarakat inten, maka akan di ambil tindakan. Atas saran teman, akhirnya saya informasikan semua temuan ini  pada petugas BKSDA Seksi Konservasi Wilayah II Sintang, Bapak Hadiatul. Tetapi sekarang dengan sedikit catatan, jika tidak segera di evakuasi, maka hal ini akan saya muat ke media cetak.

Foto By AC.WNGWT
Dalam hal penanganan satwa yang di lindungi Undang-Undang, pihak BKSDA seharusnya lebih tegas dan sigap. Saya berharap pihak BKSDA juga menambah personil yang profesional lebih banyak lagi untuk terjun langsung ke lapangan, jadi tidak pasif dan hanya menunggu laporan saja. Ini adalah tugas kita bersama. Jika masyarakat dan LSM sudah bekerja maksimal, sebaiknya BKSDA jangan tidur. Harus juga pro aktif Bro,,

Menangkap, memburu, memiliki, memelihara, memperdagangkan, membunuh semua satwa langka yang di lindungi oleh Undang-Undang adalah tindakan melawan hukum. Pelaku dapat di jerat UU Nomor 5 Thn 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Hukuman penjara 5 tahun, dan denda Rp 100.000.000,-

Semua kejadian dan gambar saya alami dan saya ambil sendiri dengan menggunakan kamera ponsel selama dua minggu "Blusukan" di daerah perhuluan Kalimantan Barat.

AC.WNGWT












Rabu, 19 November 2014

Pelanggaran Hak Satwa Yang Masih Terus Terjadi

Pelangaran Hak - Hak Satwa Yang Masih Terus Terjadi


Jika anda akan bepergian ke kota Sanggau Kapuas (Dari arah Pontianak, Kalimantan Barat), pasti melewati daerah Parindu. Dari Parindu maju sedikit ke arah Sanggau kira - kira 500m, di sebelah kanan jalan anda akan melihat beberapa ekor satwa liar yang di lindungi di kurung dalam kandang guna untuk di jadikan binatang peliharaan.



Beberapa satwa liar tersebut antara lain yaitu anak Beruang Madu (Helarctos malayanus), seekor Kucing Congkok (Prionailurus bengalensis), Elang Hitam (Ictinaetus malayensis), Elang Laut Perut Putih (Haliaetus leucugaster), Landak (Hystrix brachyura), Beruk (Macaca nemestrina), Ayam Hutan, Tupai Tiga Warna, dan beberapa jenis Monyet ekor panjang.(Macaca fascicularis).



Tempat tinggal / habitat satwa liar adalah di hutan, maka tidak di sarankan untuk di pelihara di lingkungan pekarangan rumah kita, karena keberadaan semua satwa liar itu di perlukan untuk keseimbangan alam tersebut. Jadi,,, jika anda mencintai dan menyayangi satwa liar, sebaiknya tidak di buru, di bunuh, di belai, di gendong, ataupun di pelihara. Biarkan alam yang mengatur, memelihara dan menyeleksinya. Memburu, membunuh ataupun memelihara satwa liar sama aja melanggar hukum, karena kehidupan satwa liar di atur dalam Undang - Undang Nomer 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

Tautan ini saya beri nama Suara Borneo, sesuai dengan tema gerakan teman - teman di Kalimantan Barat yang sedang menyuarakan hak - hak satwa liar yang memperjuangkan kebebasan dan nasibnya., karena mengurung satwa liar dalam kandang sama juga melanggar hak satwa.

Foto ini saya ambil mengunakan Ponsel pada hari minggu, 16/11/2014 langsung di TKP. Menurut informasi pemiliknya seorang dokter.


AC.WNGWT

Kamis, 23 Oktober 2014

Pembunuhan Burung Enggang

Benarkah Sang Guru Pembunuh Burung Enggang???


Pembantaian satwa di lindungi yang baru - baru ini terjadi, seperti pembunuhan burung Enggang yang di unggah ke sosial media, banyak menuai hujatan. Pertama foto ini di unggah di Facebook pada tanggal 17 oktober 2014 dari akun Anas Nasrullah, yang di dapat dari perkumpulan kicau mania. Tiga hari  kemudian, tgl 20 oktober baru semuanya terungkap. Rupanya burung ini sudah di sembelih sebelum dia berfoto. Dia bernama Rahmat Kartolo, seorang kepala sekolah SMK Negri 1 Wundulako, Kolaka, Sulawesi Tenggara, yang berfoto Selfie dengan bangkai burung enggang yang lehernya terkulai karena sudah di gorok dengan pisau sambil memeluk sebuah senapan, telah membuat pengakuan. 

Dia mengaku foto itu di ambil pada tahun 2012 yang lalu. Namun dia membantah jika berung enggang yang ada dalam foto tersebut sebagai hasil buruannya. Dia mengatakan bahwa burung itu dia temukan dalam keadaan lelah, kemudian terjatuh dan terdapat luka di kepalanya. Karena dalam keadaan lelah dan hampir mati, kemudian dia menyembelihnya. Sebelum di bawa pulang secara diam - diam, dia memasang kamera di sela pohon dan berfoto Selfie. Saat di tanya apakah dia tau bahwa burung enggang itu dilindungi, dia pun mengaku tahu. Tetapi dia tetap merasa tidak salah karena merasa bahwa bukan dia yang menembaknya, 

Rahmat pun mengakui dan sadar bahwa dia telah mengunggah foto tersebut ke jejaring Facebook hanya untuk memberi tahu bahwa burung enggang adalah satwa yang di lindungi, dan sekedar pembelajaran saja, kilahnya.Walau bermaksud baik, Rahmat tetap menuai hujatan keras, sebab dengan pose memeluk senapan sambil memegang burung enggang yang sudah mati, terkesan dia merasa bangga dengan cara dia membunuh. Jika hal ini benar - benar terjadi, sudah separah ini kah mental orang Indonesia terhadap satwa yang di lindungi. Atau dia hanya berpura pura agar dapat selamat dari jerat hukum. Jika benar dia pelakunya, sudah saatnya hukum di jalankan dengan tegas. Jangan sampai kejadian seperti ini terus terulang. 

Sudah seharusnya kasus ini menjadi perhatian serius pihak Kementrian Kehutanan, dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Sehrusnya lembaga ini tidak hanya menunggu informasi saja, tetapi harus lebih agresif di lapangan, sebab untuk isu - isu satwa seperti ini kewenanganya ada pada BKSDA.
BKSDA juga harus memiliki kemampuan membagi konsentrasi dalam menangani kejahatan kehutanan. Tidak hanya fokus pada kebakaran hutan dan lahan saja, tetapi untuk satwa yang di lindungi juga penting. Dalam hal ini BKSDA juga tidak bisa bekerja sendirian. Peran dan dukunga dari kita semua juga di perlukan. Jadi,, marilah kita semua bahu membahu menjaga alam, hutan dan isinya agar tetap lestari. 

AC.WNGWT


Minggu, 05 Oktober 2014

Enggang / Rangkong Julang Emas

Julang Emas
(Aceros undulatus)

Julang Emas (Aceros undulatus)
Julang Emas adalah jenis burung Enggang / Rangkong biasa yang terdapat di Cina barat daya dan India timur.

Sebaran Julang Emas di Indonesia meliputi mulai dari Sumatra, Kalimantan sampai ke Bali. Julang Emas pemakan biji bijian murni (fruigivora). Habitatnya adalah hutan primer hingga ketinggian 2000m dpl.


Ancaman Julang Emas adalah masih maraknya perburuan dan di perdagangkan di pasar burung secara ilegal. Tingginya permintaan paruh Julang Emas yang mahal terus memicu perburuan ini masih terjadi sampai sekarang.



Convention on International Trade in Endangered Species of Flora and Fauna (CITES) menetapkan kategori perlindungan burung Julang Emas dalam bentuk Apendix II yang artinya "daftar jenis yang tidak terancam kepunahan, tapi memungkinkan terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan".

Sedangkan International Union for Conservation of Natur and Natural Resaurces (IUCN) dalam status konservasi menetapkan burung Julang Emas kategori Least Consern (LC) / beresiko rendah.


Burung Julang Emas di lindungi dalam Undang · Undang  PP. No. 7 Thn 1999.


Hemat saya adalah,,, akan lebih baik jika kita semua menjadi warga yang taat hukum dengan tidak terus memburu dan memperdagangkan semua satwa yang di lindungi. Biarkan semua alam yang bekerja dan mengaturnya.


Itulah sedikit berita tentang burung Jukang Emas kebanggaan kita semua.

AC.WNGWT

Kamis, 11 September 2014

penjagalan anjing di Bali



Penjagalan 30 Ekor Anjing Ras Di Bali
Tanggal 15 april 2014 telah terjadi peristiwa sadis yang sangat menghebohkan di Bali, yaitu   pembunuhan masal 30 ekor anjing ras yang di lakukan oleh oknum Dinas Karantina Pertanian Terpadu Wilayah Kerja Gilimanuk Bali, dengan cara di suntik mati.

Hewan - hewan tersebut di bunuh karena hasil kegiatan selundupan dari beberapa daerah di jawa seperti Probolinggo, Malang dan Banyuwangi. Semua hewan itu akan di jual di Denpasar dan Kuta karena harganya yang relatif tinggi. Menurut Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Balai Karantina Pertanian Denpasar Ida Bagus Eka Ludra mengatakan pemusnahan hewan bernilai jutaan itu di lakukan untuk mencegah wabah Rabies dan Flu Burung agar tidak masuk ke Bali yang sudah bebas dari wabah tersebut.

Memang semua ini adalah hewan selundupan yang berhasil di gagalkan oleh pemda Bali. Dinas Karantina Pertanian hanya menjalankan tugasnya yang sudah sesuai aturan. Yang lebih konyol lagi katanya pihak dinas karantina tidak mendapat uang pelicin, sehingga mereka jadi murka. Tapi apakah semua hewan yang tidak bersalah ini harus di bunuh??? Apakah tidak ada cara lain, misalnya di tampung di kebun binatang sambil menunggu proses adopsi hewan pada orang yang mau memeliharanya. Saya sangat miris dengan peristiwa ini, dan atas nama pribadi saya mengutuk keras atas semua musibah yang sadis dan biadap ini. Sebenarnya hal ini tidak harus terjadi asalkan penjual dan pembeli mau mematuhi semua aturan yang sudah di terapkan oleh pemda Bali. Mengirim apalagi menyelundupkan anjing ke daerah yang sudah bebas rabies adalah tindakan illegal.

Yang sangat saya sesalkan adalah peristiwa ini terjadi di Bali, daerah yang di kenal dunia sebagai jati diri bangsa Indonesia. Ini sama saja menunjukan borok kita sendiri ke dunia luar tentang betapa sadisnya kita yang katanya adalah bangsa paling ramah di dunia. Sekarang motto itu tidak berlaku lagi. Basiiiii dahhhhh,,,,

Ini semua adalah PR besar untuk Dinas Karantina, Pemerintah dan kita semua. Kita harus lebih arif dan berperi kemanusiaan dalam menyikapi hal-hal seperti ini. Dan yang paling penting adalah bagaimana hal seperti ini tidak lagi terulang di kemudian hari. Saran saya adalah cobalah gunakan sedikit hati nurani dan jangan cepat ambil keputusan, apalagi yang menyangkut masalah eksekusi, walau untuk binatang sekalipun.


Dalam hal ini saya tidak mengatakan bahwa saya yang paling benar, tapi hanya sekedar mengingatkan kita semua bahwa mencabut nyawa makluk yang hidup dan bernyawa itu adalah kewenangan sang pencipta. Bukan kita.

Terima kasih.

AC.WNGWT